Berita 

Diskusi Puisi dan Islam, Peluncuran Antologi Puisi Doa Seribu Bulan

DEPOK (Litera.co.id) – Buku antologi puisi Doa Seribu Bulan diluncurkan di Teater Studio Rumah Seni Asnur, Jalan Cahaya Titis Kavling Timur UI Blok D No. 4 Tanah Baru, Depok, Minggu, 3 Juni 2018. Buku antologi puisi Doa Seribu Bulan ini memuat puisi-puisi penyair-penyair Asean (Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Thailand, Vietnam). Penerbitan dan peluncuran buku antologi puisi tersebut merupakan agenda dan program Rumah Seni Asnur di bulan Ramadan.

Peluncuran buku antologi tersebut dimulai pukul 16.00 WIB dihadiri beberapa penyair yang puisinya termuat. Banyak penyair yang datang dari Jabodetabek, Cianjur dan Malaysia. Sebut saja Budhi Setyawan, Chairil Gibran Ramadhan, Harris Cinamon, Mustafa Ismail, Willy Ana, Sam Muchtar Chaniago, Mohamad HM, Mohd. Rosli Bakir, dan lainnya.

Kegiatan ini merupakan upaya mempererat tali silaturahim penyair-penyair Asean melalui literasi. Kegiatan ini juga diwarnai dengan pembacaan puisi dan musikalisasi puisi hingga menjelang berbuka puasa bersama.

Seusai berbuka puasa dan ibadah salat Maghrib, acara kembali dilanjutkan dengan diskusi bertajuk “Sastra dan Islam”. Diskusi yang dipandu Yahya Andi Saputra ini menampilkan pembicara yakni Ahmadun Yosi Herfanda, Sofyan RH Zaid, dan Sunu Wasono.

Islam dan sastra telah memiliki hubungan yang erat sejak dahulu, zaman Nabi Muhammad SAW. Islam tidak bisa dilepaskan dari puisi, syair dan kepenyairan. Menurut Ahmadun, puisi itu sesuatu yang dikutuk sekaligus dimuliakan. Posisi menjadi penyair dinilai sangat penting, sehingga penyair mendapatkan kehormatan dan disebut Allah SWT dalam Alquran. “Dan penyair-penyair itu diikuti orang-orang yang tersesat. Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang tidak mereka kerjakan, kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezhaliman. Dan orang-orang zhalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali.” (QS Asy-syu’araa’, 224-227).

Di Indonesia ada beberapa penyair islami atau penyair sufi, seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin Araniri hingga penyair sufi masa kini seperti Abdul Hadi WM, Mustofa Bisri, D Zawawi Imron, Emha Ainun Najib, Ahmadun Yosi Herfanda dan lainnya.

“Menulis puisi adalah ibadah kreatif, upaya menemukan hal baru yang inovatif,” ujar Ahmadun. Puisi islami akan terus ditulis. Hanya saja kurang mendapat tempat yang terhormat dan kurang mendapat perhatian kritikus sastra di Indonesia.

Pada zaman jahiliyah, syair atau puisi memiliki dua fungsi yakni sebagai alat untuk menaikkan pamor perempuan dengan cara banyak menyebut nama perempuan agar terkenal. Kedua, sebagai alat untuk menjilat. “Rasulullah menyukai puisi atau syair yang mengandung hikmah dan semangat perjuangan. Tapi Rasulullah tidak menyukai puisi atau syair yang mengandung fitnah dan hujatan,” kata Sofyan RH Zaid.

Di Indonesia bukan hanya puisi atau syair, tapi juga banyak hikayat yang mengobarkan semangat perjuangan. “Seperti di Aceh terlebih dahulu dibacakan syair dan hikayat sebelum berangkat ke medan perang,” kata Sunu Wasono. (IS)

Related posts

Leave a Comment

twenty − 10 =